Kisah Klasik Kapitalisme Joko national@mail2.factsoft.de Fri Aug 9 02:55:02 2002 Previous message: [Nasional] TNI/Polri, Selamat Tinggal Politik Next message: [Nasional] Krisis Konstitusi Kini Sudah Terjadi Messages sorted by: [ date ] [ thread ] [ subject ] [ author ] -------------------------------------------------------------------------------- DI dalam kapitalisme pada intinya terkandung esensi bahwa kapital akan membesarkan dirinya sendiri dengan resiko apapun. Berbagai institusi sosial bisa disubordinasi oleh kapitalisme, apakah itu hukum, agama, sosio-kultur, politik... Itu karena sebagai suatu sistem ekonomi, kapitalisme mampu membentuk nilai-nilai normatif. Nilai-nilai ini yang membuat institusi-institusi sosial terpenetrasi oleh kapitalisme. Dulu terjadi kolonialisme sebagai konsekwensi kapitalisme yang membutuhkan bahan mentah dan pasar sebagai sarana untuk membesarkan dirinya. Pecahnya Perang Dunia II dan Perang Pasifik juga ekses dari persaingan negara kapitalis. Lalu Belanda bisa ditekan oleh AS (dengan ancaman menunda pengucuran bantuan Marshall Plan) untuk mengakui kemerdekaan Indonesia juga karena kapitalisme! Lucu bukan? Dengan pola dan sebab yang sama, Belanda akhirnya mengakui Irian Barat sebagai milik RI pada tahun 1963. Di satu sisi, BK selalu membuat front terhadap kapitalisme. Perang Kemerdekaan dan Perang Irian Barat adalah manifestasinya. Begitu juga Konfrontasi Malaysia yang abortif itu. Tapi kalau kita kilas balik, kapitalisme itu memiliki kekuatan bukan hanya karena kemampuannya mengkooptasi institusi sosial yang lain, tetapi juga karena kapitalisme adalah sistem ekonomi yang paling alamiah. Sistem ekonomi kapitalis selalu menjunjung tinggi mekanisme pasar. Kita semua sudah melihat, bagaimana negara-negara komunis akhirnya runtuh karena sistem ekonomi komando-nya ternyata dihadapkan pada kekuatan alamiah dan akhirnya tak sanggup lagi bertahan. Mengenai kisah bagaimana kapitalisme mengkooptasi institusi politik kita, bisa kita telusuri sejak berdirinya Orde Baru. Sejak itu, nilai-nilai materi menjadi terdifusi di kalangan elit politik dan birokrat negara. Lahirlah anak kandung yaitu budaya KKN yang akhirnya makin mengkukuhkan keberadaannya. Hukum dan sosio-kultur, bahkan institusi agama bisa disubordinasi (ingat kasus Ajinomoto?). Reformasi kita sejak 1998 hanya menyentuh dunia politik, tapi tidak banyak mengkoreksi sistem ekonomi kapitalis yang kebablasan. Di sini kebablasan dalam arti sistem yang ada penuh distorsi, tidak secara setia menganut ekonomi pasar, aliran modal yang tidak seimbang dengan pertumbuhan produktivitas, faktor KKN di dalam sistem ekonomi, dan seterusnya. Wajar dikatakan kebablasan karena Krisis Moneter yang terjadi pada tahun 1998--yang menyebabkan Soeharto jatuh-- itu tak lain dari fenomena alam yang mengkoreksi kebablasan yang terjadi pada sistem ekonomi Indonesia. Setelah Reformasi, justru sosio-kultur makin dikooptasi oleh kapitalisme. Kita bisa merasakan sendiri di masyarakat. Ada istilah UUD (ujung-ujungnya duit), lalu ada istilah matre (materi) dsb. Di kampung-kampung di pucuk gunungpun, budaya gotong royong sudah menjadi barang antik, digantikan oleh budaya uang. Kalau meminjam sebait lagu Iwan Fals, kita itu bagaikan dijejali oleh propaganda pemasaran yang membuat kita lupa diri kita sendiri. Itu membuat rakyat teraleinasi dari jati diri mereka. Inilah salah satu sumber krisis multidimensi yang terjadi! Mengkoresksi kapitalisme bukan berarti harus anti. Tetapi menyeimbangkan kekuatan-kekuatan yang ada agar terjadi equilibrium yang sehat. Harus diakui, sistem ekonomi pasar memang yang terbaik untuk saat ini. Bagi penganut Marhaenisme, ini merupakan kesempatan emas. Now is the opportunity! Marhaenisme tidak anti kapitalisme. Dan pro ekonomi pasar. Marhaenisme bukan sosialisme demokrasi yang sering membuat pasar terdistorsi. Dan Marhaenisme cocok untuk kondisi Indonesia sekarang!